13.46 | Posted in ,
Komunitas Aleut! adalah sebuah wadah belajar bersama melalui apresiasi sejarah dan wisata yang bersifat swadaya dan nonprofit. Para pegiat komunitas Aleut! terutama adalah generasi muda (mahasiswa-mahasiswi, siswa-siswi sekolah) serta masyarakat umum yang mempunyai minat dan kepedulian terhadap sejarah dan budaya, terutama dala lingkup Kota Bandung dan sekitarnya. Kegitan Aleut! mengemas berbagai kegiatan edukatif yang berkaitan dengan sejarah, secara lebih menarik sebagai media pembelajaran alternatif di samping studi formal. Sejarah yang di pandang sebagian kalangan sebagai pelajaran menjemukan, dalam komunitas Aleut! dicoba di lakukan secara sederhana dengan terjun langsung ke lapangan. Komunitas Aleut! mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap hal-hal kecil yang berkaitan dengan sejarah, hal-hal yang banyak dilupakan orang. Aktivitas umum yang dilakukan secara mingguan oleh komunitas Aleut! selalu berkaitan dengan kegiatan-kegiatan edukatif baik melalui apresiasi sejarah dan wisata, apresiasi film dan musik, penulisan, penelitian kecil, atau pun belajar memasak bersama.

Paragraf diatas merupakan sekelumit dari sobekan kertas formulir registrasi dari Komunitas Aleut! yang saya dapatkan ketika mendaftar di acara Open House Unit ITB. Sebenarnya keinginan mendaftar sudah dari beberapa minggu yang lalu, tapi baru kesampaian ketika Komunitas Aleut! membukan standnya di ITB. Keesokannya hari ahad bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, Komunitas Aleut! mengadakan kegiatan menyusuri Kawasan Cicendo-Pajajaran tentunya bukan jalan-jalan biasa. Perjalanan diawali dengan berkumpul di Masjid Al ukhuwah depan Balaikota, ternyata Masjid ini dahulu adalah gedung tempat berkumpulnya kaum teosofi, dahulu ada beberapa gerakan terkenal salah satunya adalah fremanson/Vritmetselarij mirip sebuah sekte Klu klux klan. Gedung ini dikenal dengan nama Loge Sint Jan, masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan gedung setan dikarenakan upacara-upacara yang sering dilakukan oleh gerakan-gerakan itu dan juga jubah-jubah yang sering mereka gunakan dalam setiap upacaranya sehingga menambah seram gedung itu. Sekitar tahun 1960-an gedung tersebut di bongkar dan di bangun Gedung Graha Pancasila, barulah pada tahun 1990-an di bangun Masjid Al Ukhuwah sampai sekarang ini. Setelah mengetahui sejarah Masjid Al Ukhuwah kami beranjak ke sebuah tempat persis di belakang Masjid, tempat yang bertuliskan BMC tersebut ternyata memiliki sejarah, Bandoengsche Milk Centrale ternyata kepanjangan dari BMC menurut Bang Ridwan pemandu kami dahulu kala tempat ini merupakan penghasil susu sapi berkualitas tinggi se-Hindia Belanda sekitar abad 19 sehingga dijuluki "Friesland In Indie".

Bandoengsche Milk Centrale(BMC)

Gedung Pakuan
Perjalanan berlanjut ke Gedung Pakuan, gedung ini didirikan tahun 1866 dengan model bergaya kerajaan Romawi, dahulu sebagai rumah residen priangan. Karesidenan priangan sebenarnya terletak di Cianjur, namun di karenakan gunung gede meletus pada waktu itu beberapa orang pindah dan mendirikan karesidenan di Bandung. Perjalanan berlanjut ke Kebon Kawung, ada yang menarik dari nama Kebon Kawung dulunya jalan ini bernama Babakan Bogor. Bogor sebutan dari pohon palm jika tidak ada bunganya, di depan stasiun hall yang merupakan wilayah Kebon Kawung juga kami masuk ke Jl.H Mesri, ternyata banyak yang tidak tahu bahwa di sekitar jalan Mesri ini terdapat Mata Air Cuguriang, tidak jauh dari Mata Air Ciguriang terdapat pemakaman keluarga H.Mesri disini kami berteduh pada sebuah saung di kompleks pemakaman ini, Bang Ridwan menceritakan tentang saudagar-saudagar di Bandung yang salah satunya adalah keluarga H.Mesri ini. Bandung sampai 1800an terdapat satu-satunya pasar terbesar namanya Pasar Ciguriang (sekarang Pasar Baru) karena dekat dengan Kali Ciguriang yang Mata Airnya dari sini. Pasar Ciguriang dibakar tahun 1884 oleh Munada seorang Cina Islam asal Kudus yang dendam pada Asisten Residen, tahun 1906 barulah dibangun kembali yang sekarang bernama Pasar Baru. Pengusaha/saudagar Bandung berawal dari tanah Jawa pelarian pasukan Dipenogoro, kalau tidak salah H.Mesri (keturunan keluarga Achsan) ini salah satu keturunan dari pengikut Dipenogoro yang sembunyi dari pengejaran kompeni pada waktu itu, para saudagar ini banyak yang sukses berdagang salah satunya batik, selain keturunan Jawa, ada juga para saudagar keturunan Palembang (Tamin), bahkan India dan Arab.

Mata Air Ciguriang

Setelah mendengar tentang cerita awal mula saudagar-saudagar Bandung kami menuju ke rumah Haryoto Kunto yang masih di lingkungan Jalan H.Mesri ini, beliau adalah penulis tentang sejarah Bandung, sayang ketika kami berkunjung tidak dapat masuk ke kediaman Pak Kunto, perjalanan berlanjut ke Jl.Kesatriaan, di jalan ini terdapat sebuah sekolah yaitu SMPN 1 Bandung. Dahulunya ditempat bersejarah ini pernah dijadikan tempat pergerakan pemuda yang bernama Indische Partij dengan toko-tokohnya diantaranya E.F.E Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantoro, Tjipto Mangunkusumo, disekolah ini juga Bapak Proklamator kita pernah mengajar eksakta.


Perjalanan berlanjut menyusuri pasar dan gang-gang sempit tibalah kami di Jl.Samba tempat pemakaman H.Sarif yang merupakan saudagar pasar baru ("orang pasar"), disini kami menemukan makam-makam yang termasuk kuno karena masih adanya makam bertuliskan bahasa Belanda, disini juga ada pohon unik yang bernama Sawo Kenitu yang hanya berbuah pada Bulan Ramadhan dan dipanen pada saat hari raya Idul Fitri, masih menyusuri daerah pajajaran tentunya dengan berjalan kaki , kami tiba di sebuah SD di jalan Pajajaran, disini Bang Ridwan masih bercerita tentang sosok Boscha yang tidak asing lagi dan sebagai penyandang dana pembangunan tempat-tempat bersejarah termasuk peneropong Bintang di Lembang dan salah satunya SLB Cicendo.


Masih berjalan kaki yang tak terasa kemungkinan kira-kira 10 kilometer lebih sampailah kami di SLB Cicendo yang ternyata bangunan ini cukup unik karena rangka bangunan masih menggunakan konstruksi besi termasuk kusen dan pintunya. di SLB Cicendo inilah tempat berakhirnya perjalanan menyusuri Cicendo-Pajajaran, sungguh pengalaman berharga walaupun bercampur lelah menyusuri sejarah bandung tempo doeloe dengan Komunisat Aleut!.


��