18.11 | Posted in
Kita sedang menyaksikan bangsa Jepang menghadapi bencana: gempa, tsunami, dan nuklir sekaligus. Lewat televisi, Facebook, dan Twitter, kita tahu seluruh dunia memuji mereka karena terlihat bagaimana Pemerintah Jepang yang terus mengobarkan semangat dengan tenang dan tidak emosional, bekerja tenang dan teratur, meminta warga tetap waspada, mengimbau warga bahu-membahu menghadapi bencana, termasuk menghemat listrik dan makanan, serta meminta maaf karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik bergilir.
Pemerintah juga memberikan tips-tips menghadapi bencana, menyediakan call centre yang bisa dihubungi 24 jam, dan mengirim tim SAR dari setiap prefektur menuju lokasi-lokasi bencana. Warga dan pemerintah bahu-membahu menyelamatkan korban sehingga terasa betul bahwa di Jepang manusia benar-benar sangat berharga. Terlihat pula pemandangan warga yang saling menyemangati.
Kesimpulan seperti ini juga dilaporkan oleh Rouli Esther Pasaribu, mahasiswa Indonesia di Jepang, yang sejak 14 Maret 2011 laporannya beredar di berbagai milis di Indonesia. Ditambah lagi, di televisi tak ada lagu melankolis ala Ebiet G Ade, tak kelihatan posko-posko bencana swasta yang mengumpulkan sumbangan, serta tak ada tayangan korban dengan tangis amat memilukan. Semua tenang, terkendali, dan bekerja dengan teratur.
Kata Rouli, inilah gambaru—secara populer diterjemahkan sebagai berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan sesuatu dengan segala daya dan upaya, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik.
Rouli sendiri sempat muak lahir batin dengan gambaru ini karena sejak menjadi mahasiswa dua tahun lalu, dirinya terus dicekoki dengan gambaru oleh para profesornya tanpa belas kasihan. Namun, hatinya luluh kini dan berganti takzim pada gambaru sesudah beberapa hari terakhir menyaksikan bagaimana bangsa Jepang tampil dengan elegan menghadapi peluluhlantakan oleh kuasa alam berskala Richter 9,0 ini.
Kini Rouli takjub pada gambaru. Ia memuji gambaru. Inilah semangat bertahan sampai ke mana pun, berusaha habis-habisan hingga yang terujung. Mau sesusah apa pun persoalan, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri agar bisa menang atas persoalan itu.
Maksudnya, jangan manja, jangan cengeng, tetapi kita harus menganggap semua persoalan sebagai kewajaran hidup. Hidup pada dasarnya memang susah. Jadi, jangan pernah berharap yang gampang atau enak. Persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik, tegas Rouli dengan gaya seorang motivator.

”Gambaru” dan etos Jepang

Adalah Robert N Bellah, profesor Sosiologi dari Harvard, yang pada 1957 menerbitkan risetnya tentang kebudayaan Jepang menjadi buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan. Dari buku ini dunia menjadi mafhum bahwa Jepang bukanlah bangsa peniru seperti cukup lama dikira orang, melainkan bangsa yang mempunyai ”roh tersendiri, etos yang khas Nippon” yang terutama disemai oleh Dinasti Tokugawa (1600-1868).
Dalam berbagai literatur populer, etos Jepang ini tampil sebagai gi, bersikap benar dan bertanggung jawab; yu, berani dan kesatria; jin, murah hati dan mencintai; rei, bersikap santun dan hormat; makoto, bersikap tulus dan sungguh-sungguh; melyo, menjaga martabat dan kehormatan; serta chugo, mengabdi dan loyal.
Secara generik dan sublim, semua kebajikan tersebut muncul menjadi gambaru. Di medan perang ia pernah tampil sebagai kamikaze (angin dewa yang berani hingga mati). Di bidang bisnis ia populer sebagai kaizen (semangat kesempurnaan dalam meningkatkan kualitas produk atau pekerjaan).
Kini kita tahu, gambaru adalah mahasiswa yang belajar mati-matian untuk meraih prestasi akademik tertinggi. Gambaru adalah atlet yang berlatih keras untuk memenangi pertandingan. Gambaru adalah wiraniaga yang bekerja keras dan kreatif untuk meningkatkan penjualan. Gambaru adalah hakim yang mati-matian menegakkan keadilan.

Ya, gambaru mempunyai pengertian bekerja keras dengan sabar, bertekun dan berfokus pada sasaran, penuh semangat dan antusiasme. Bahkan, ketika berpisah pun, orang Jepang saling berucap ”gambare” (diartikan sebagai teruslah bekerja keras sampai tujuanmu tercapai).
Setelah gempa bumi Kobe 1995, slogan ”Gambare Kobe” digunakan untuk mendorong rakyat Kobe merekonstruksi kota mereka dan membangun kembali kehidupan mereka.
Masyarakat Jepang juga menggunakan ekspresi ini di antara anggota kelompok untuk mendorong satu sama lain dalam kegiatan yang membutuhkan kerja sama. Sebagai contoh, selama pelajaran olahraga di sekolah, anak-anak akan sering terdengar berteriak ”gambare” atau ”gambatte” untuk mendorong teman-teman mereka dalam pertandingan.

Pada Piala Dunia 1998 yang digelar di Perancis, pendukung tim Jepang bersorak dengan meneriakkan slogan ”Gambare Nippon!” Selama kejuaraan, slogan itu terus digunakan pada acara televisi dan iklan setiap hari. Gambaru adalah sari pati etos Jepang yang membuat mereka berhasil bangkit dari kehancuran sebagai pecundang Perang Dunia II menjadi sejaya mantan musuhnya, bahkan menjadi sahabat mereka. Ratusan tahun gambaru telah menjadi kekuatan bangsa Jepang menghadapi kekuasaan alam, keganasan perang, dan persaingan bisnis global.
Kini kita menyaksikan gambaru Jepang lewat televisi: menghadapi gempa, tsunami, dan bencana nuklir. Seorang teman yang budayawan mengatakan, Jepang itu tangguh, tanggap, berorientasi pada masalah, bertindak terukur, dan bermartabat. Mereka merupakan sebuah kesaksian abad ini di depan mata kita tentang siapakah ”Sang Manusia” itu.

”Gambaru” Indonesia?

Kita pun sebagai bangsa yang bertanah air rentan gempa seperti Jepang mesti terus memperkuat diri kita. Sampai gempa dan tsunami serupa muncul di sini, gambaru Indonesia bolehlah kita pakai untuk mengenyahkan korupsi, membasmi mafia, dan membereskan masalah infrastruktur (biang mega-kemacetan Jakarta) negeri ini.
Buat bangsa Jepang, kami salut kepadamu!

JANSEN SINAMO Direktur Institut Darma Mahardika; Pegiat Etos Kerja Profesional; Guru Etos Indonesia (Dimuat di Kompas, 18-3-2011)


Category:
��